Kiranya patut disyukuri bahwa dengan kehadiran free open source
software sudah membuka kran kreativitas developer dalam membuat
aplikasi. Ditambah dengan adanya lisensi GPL yang memungkinkan bahwa
kode sumber (source code) itu dibuka (open) dan di share kepada publik
secara legal. Dan dilegalkan untuk memodifikasi source codenya, untuk
kemudian dishare lagi kepada publik. Sehingga kreativitas itu dibuka
selebar-lebarnya kepada para developer.
Dari sisi end user, keadaan ini tentu memberi keuntungan dengan
banyaknya pilihan sebuah aplikasi dengan fungsi yang sama, akan tetapi
memiliki fitur yang sesuai dengan keperluannya. Point-nya adalah bahwa
aplikasi yang dipakai itu legal.
Ada pengalaman saya sewaktu bekerja dengan kolega saya di Singapore
saat kita sedang mendevelop new product. Saya selaku Engineer
diwajibkan untuk mempelajari new design tersebut dari sisi teori yang
benar. Dan itu ada buku panduan yang kita gunakan. Mengingat bukunya
hanya satu buah, sementara saya harus kembali ke Batam, maka saya
bermaksud untuk mem-foto copy beberapa lembar halaman dari buku
tersebut. Akan tetapi kolega saya melarang bahwa tindakan memfoto copy
tanda mendapat ijin tertulis dari si penulis itu adalah tindakan
ilegal di Singapore. Oleh karena itu maka saya mengurungkan niat saya
tersebut.
Adapun tindakan mem-foto copy buku atau modul kuliah di Indonesia itu
jamak dilakukan. Meskipun sudah ada undang-undang yang melarang hal
tersebut, akan tetapi tetap saja tindakan tersebut (mem foto copy)
tanpa meminta ijin dari penulis dilakukan secara
terang-terangan. Inilah perbedaan sikap dan perilaku kita dengan orang
Singapore yang selalu menjunjung tinggi hak cipta karya seseorang.
Oleh karena itu, maka wajarlah bahwa gerakan free open source biasanya
menggunakan lisensi GPL dari GNU. Inilah payung hukum dalam mendevelop
software open source. Dan hal itu jugalah yang memungkinkan
tersedianya software open source di internet (cloud atau awan). Hal
ini dilakukan agar si pembuat software tersebut bisa men-share
softwarenya dan dilain pihak publik bisa mendownload dan menggunakan
software tersebut secara legal.
Bagi saya yang sudah migrasi ke Linux, maka semua aplikasinya sudah
tersedia di internet. Bila kita ingin menggunakan distro tertentu,
maka kita tinggal mendownload file iso image-nya dari website resmi
distro tersebut. Dan untuk kemudian kita bisa mengkostumisasi-nya
sesuai selera.
Sebagai contoh adalah apa yang biasanya saya lakukan sekarang, pilihan
distro jatuh pada Slackware, maka saya akan mendownload file iso
image-nya dari slackware.com. Adapun paket non standart lainnya saya
peroleh dari website slackbuilds.org atau menggunakan paket racikan
Erick Hameleers dari blognya di alien.slackbook.org/blog.
Sementara untuk console fonts favorit saya yang sebelumnya adalah
CyrAsia-Fixed16.psf.gz yang saya dapatkan dari distro Debian, sekarang
ada gantinya yaitu gnu unifont yang bisa saya dapatkan dari
ftp.gnu.org/gnu/unifont.
Adapun untuk document viewer saya percayakan pada Okular yang memang
merupakan paket standard dari Slackware. Sedangkan untuk office suite
saya peroleh dari Libre Office dengan menggunakan script dari
slackbuilds.org atau langsung menggunakan racikan paketnya dari Eric
Hameleers tersebut diatas.
Bedanya dengan proprietary software adalah bahwa kita perlu membeli
lisensi dari si pembuat software tersebut. Saya berpengalaman saat
membeli Office 365 for University, yang berupa satu kota kecil. Pikir
saya, didalamnya tentu ada CD installernya, ternyata saya
salah. Didalamnya hanyalah serial numbernya saja, sedangkan
softwarenya kita harus mendownloadnya sendiri dari website office 365
buatan microsoft tersebut.
Pada hakekatnya sama, yaitu installernya kita download dari internet
(cloud), akan tetapi bedanya kita harus membayar lisensinya, bila kita
menggunakan software yang proprietary.
Welcome to the cloud computing era.
software sudah membuka kran kreativitas developer dalam membuat
aplikasi. Ditambah dengan adanya lisensi GPL yang memungkinkan bahwa
kode sumber (source code) itu dibuka (open) dan di share kepada publik
secara legal. Dan dilegalkan untuk memodifikasi source codenya, untuk
kemudian dishare lagi kepada publik. Sehingga kreativitas itu dibuka
selebar-lebarnya kepada para developer.
Dari sisi end user, keadaan ini tentu memberi keuntungan dengan
banyaknya pilihan sebuah aplikasi dengan fungsi yang sama, akan tetapi
memiliki fitur yang sesuai dengan keperluannya. Point-nya adalah bahwa
aplikasi yang dipakai itu legal.
Ada pengalaman saya sewaktu bekerja dengan kolega saya di Singapore
saat kita sedang mendevelop new product. Saya selaku Engineer
diwajibkan untuk mempelajari new design tersebut dari sisi teori yang
benar. Dan itu ada buku panduan yang kita gunakan. Mengingat bukunya
hanya satu buah, sementara saya harus kembali ke Batam, maka saya
bermaksud untuk mem-foto copy beberapa lembar halaman dari buku
tersebut. Akan tetapi kolega saya melarang bahwa tindakan memfoto copy
tanda mendapat ijin tertulis dari si penulis itu adalah tindakan
ilegal di Singapore. Oleh karena itu maka saya mengurungkan niat saya
tersebut.
Adapun tindakan mem-foto copy buku atau modul kuliah di Indonesia itu
jamak dilakukan. Meskipun sudah ada undang-undang yang melarang hal
tersebut, akan tetapi tetap saja tindakan tersebut (mem foto copy)
tanpa meminta ijin dari penulis dilakukan secara
terang-terangan. Inilah perbedaan sikap dan perilaku kita dengan orang
Singapore yang selalu menjunjung tinggi hak cipta karya seseorang.
Oleh karena itu, maka wajarlah bahwa gerakan free open source biasanya
menggunakan lisensi GPL dari GNU. Inilah payung hukum dalam mendevelop
software open source. Dan hal itu jugalah yang memungkinkan
tersedianya software open source di internet (cloud atau awan). Hal
ini dilakukan agar si pembuat software tersebut bisa men-share
softwarenya dan dilain pihak publik bisa mendownload dan menggunakan
software tersebut secara legal.
Bagi saya yang sudah migrasi ke Linux, maka semua aplikasinya sudah
tersedia di internet. Bila kita ingin menggunakan distro tertentu,
maka kita tinggal mendownload file iso image-nya dari website resmi
distro tersebut. Dan untuk kemudian kita bisa mengkostumisasi-nya
sesuai selera.
Sebagai contoh adalah apa yang biasanya saya lakukan sekarang, pilihan
distro jatuh pada Slackware, maka saya akan mendownload file iso
image-nya dari slackware.com. Adapun paket non standart lainnya saya
peroleh dari website slackbuilds.org atau menggunakan paket racikan
Erick Hameleers dari blognya di alien.slackbook.org/blog.
Sementara untuk console fonts favorit saya yang sebelumnya adalah
CyrAsia-Fixed16.psf.gz yang saya dapatkan dari distro Debian, sekarang
ada gantinya yaitu gnu unifont yang bisa saya dapatkan dari
ftp.gnu.org/gnu/unifont.
Adapun untuk document viewer saya percayakan pada Okular yang memang
merupakan paket standard dari Slackware. Sedangkan untuk office suite
saya peroleh dari Libre Office dengan menggunakan script dari
slackbuilds.org atau langsung menggunakan racikan paketnya dari Eric
Hameleers tersebut diatas.
Bedanya dengan proprietary software adalah bahwa kita perlu membeli
lisensi dari si pembuat software tersebut. Saya berpengalaman saat
membeli Office 365 for University, yang berupa satu kota kecil. Pikir
saya, didalamnya tentu ada CD installernya, ternyata saya
salah. Didalamnya hanyalah serial numbernya saja, sedangkan
softwarenya kita harus mendownloadnya sendiri dari website office 365
buatan microsoft tersebut.
Pada hakekatnya sama, yaitu installernya kita download dari internet
(cloud), akan tetapi bedanya kita harus membayar lisensinya, bila kita
menggunakan software yang proprietary.
Welcome to the cloud computing era.
Comments